Selasa, 12 April 2011

Masalah Subsidi BBM


Pengurangan Subsidi BBM Picu Masalah Baru Pada Transportasi Perkotaan   
 
Indonesia lain dengan Kuwait. Melonjaknya harga BBM malah membuat rakyat Kuwait menerima kupon berupa tambahan uang tunai dari pemerintah. Sementara di Indonesia hal itu “tidak boleh terjadi” karena kenaikan harga minyak sama artinya dengan tambahan subsidi untuk BBM yang dikonsumsi rakyat. Akhir-akhir ini upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi semakin mengemuka dan banyak pihak, termasuk DPR, mempertanyakan kejelasan mekanisme pengurangan subsidi BBM tersebut di lapangan. Menurut mereka penerapan konsep pengurangan subsidi BBM akan tidak mudah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yosgiantoro, menjelang peluncuran BioPertamax di Gianyar, Bali, menyatakan kepada Direktur Niaga dan Pemasaran Pertamina Ahmad Faisal, bahwa salah satu cara untuk mengurangi subsidi, termasuk pengurangan premium, adalah mengalihkan para pengguna sepeda motor yang semula menggunakan BBM RON (real octan number) 88 (Premium) ke RON 90. Jadi, para pengendara sepeda motor mulai sekarang harus bersiap-siap mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli bensin karena Premium RON 90 tentu akan lebih mahal, demikian pertanyaan yang dilontarkan dalam diskusi terbatas yang diisi paparan dari Priyonggo Suseno, M.Sc. (Ketua Pusat Penelitian dan Pengkajian Ekonomi Islam- P3EI UII) dan Munrokhim Misanam Ph.D. (Ketua Program Pascasarjana FE UII) dan Bachnas, M.Sc (Pakar Transportasi FTSP UII) di gedung Rektorat UII, Jalan Kaliurang Km. 14.5 (6/12).
Pada kesempatan tersebut, Bachnas menyatakan bahwa masalah BBM sangat terkait dengan aktivitas transportasi. Kenaikan harga BBM tentu akan diikuti dengan kenaikan biaya transportasi yang selanjutnya akan mengakibatkan melambungnya harga-harga berbagai komoditas di pasar. Bachnas menanggapi positif pengurangan subsidi BBM. Menurutnya pengurangan subsidi berarti akan ada saving (simpanan) atau penambahan devisa negara. Karena sesungguhnya pihak yang berhak menikmati minyak adalah rakyat, maka jika uang hasil penghematan subsidi ini digunakan untuk mendukung dan secara langsung dikompensasikan untuk memperbaiki atau membangun sarana dan prasarana transportasi tentu hasilnya akan dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Perbaikan sarana transportasi itu akan memungkinkan pengendara sepeda onthel, becak, dan andong akan memiliki jalur sendiri sehingga akan membuat para penggunan jalan umum menjadi nyaman. Hal itu akan mendorong orang untuk menggunakan mode transportasi yang bahkan nol BBM. Transportasi jenis terakhir ini tentu akan mengurangi emisi gas buang yang notabene menimbulkan polusi udara, lanjutnya.
Ketika disinggung soal pengurangan BBM, Munrokhim menyatakan bahwa secara konsep, kebijakan tersebut terlihat mungkin. Namun praktek dilapangan akan sulit. Ekses ekonomisnya adalah munculnya pasar gelap BBM yang tentu akan semakin mempermahal BBM, disamping juga akan memicu KKN jika dilakukan dengan kupon, dsb. Jika dikaitkan dengan efeknya terhadap transportasi publik perkotaan, Munrokhim menyatakan bahwa “sistem transportasi kita itu belum bagus, khususnya di Yogyakarta ini. Rute atau jalur antara satu mode transportasi dengan lainnya belum saling terhubung dengan baik. Karena Yogyakarta ini belum begitu besar, maka jarak dari satu tempat ke tampat lain dalam satu rute sebenarnya pendek-pendek, maka jalur dibuat berkelok-kelok agar menjadi jauh. Cara penentuan jalur transportasi seperti ini tidak efisien karena akan membuat para pengguna selain harus rela menghabikan banyak waktu di dalam kendaraan yang pengap dan panas, juga harus bayar mahal, yaitu jauh-dekat Rp. 2.000. Tarif bus kota kita itu sama dengan tarif bus kota Jakarta yang rutenya lebih jauh dari rute bus kota Yogyakarta”. Melihat tingkat kesemrawutan layanan transportasi publik kita, dia prihatin bahwa pengurangan subsidi BBM tidak akan menyentuh secara signifikan masalah transportasi kita, khsusunya di perkotaan, yang sudah mulai mendatangkan masalah kemacetan dalam frekuensi yang semakin meningkat.” Menurutnya, pengurangan subsidi BBM perlu dibarengi dengan pembenahan sistem trasportasi perkotaan oleh Departemen Perhubungan. Jadi, masalah transportasi perkotaan perlu diselesaikan secara lintas departemen.
Sementara itu bagi Priyonggo kebijakan pengurangan subsidi BBM itu membingungkan. Apa pasal? Menteri keuangan menyatakan bahwa harga minyak per barrel yang begitu tinggi seperti sekarang ini belum mengancam kondisi keuangan negara kita. Pernyataan menteri keungan tersebut sejalan dengan realitas bahwa Indonesia memiliki komoditas minyak untuk dijual. Sebagai penjual, tentunya kenaikan harga adalah yang diinginkan. Indonesia malah kebingungan, atau bisa dikatakan terlihat kesulitan dengan kenaikan harga minyak. Inilah persoalan yang tak pernah dibereskan dari tahun ke tahun. Menteri ESDM memiliki kalkulasi bahwa setiap kenaikan satu dollar AS harga minyak, penerimaan negara secara de facto naik sekitar Rp 3,1 triliun. Produksi minyak kita baru 90% dari target. Tapi, harga minyaknya kan sudah melonjak 118% dari target kita sebelumnya. Selain itu, kan produksi gas, batubara kita juga meningkat, dimana harganya juga ikut naik akibat meroketnya harga minyak ini. Jadi, secara keseluruhan pendapatan kita juga naik. Namun dikatakan, penerimaan itu harus dialokasikan lagi ke dalam subsidi bahan bakar minyak (BBM) lewat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), urainya. Dalam situasi seperti ini, mengingat apa yang dinyatakan oleh Munrokhim, Priyonggo mempertanyakan,: Perlukah konsumsi BBM dibatasi, bagaimana mekanismenya? Sudahkah proporsional membahas mengenai masalah penghematan konsumsi BBM ini dalam situasi Indonesia seperti sekarang? 
   Multiply n Humas UII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar